Sabtu, 18 Juli 2015

RE POST : Swasembada Sapi, 30 Tahun atau 3 Tahun?...

Isu swasembada pangan di republik ini terus menjadi berita hangat. Berhasil tidaknya kabinet Jokowi-JK juga tak lepas dari tercapainya target pemerintah untuk berswasembada pangan. Ini termasuk swasembada daging sapi yang telah diprogramkan sejak 2010 dan belum berhasil dicapai hingga hari ini. Artinya, Indonesia belum mampu memenuhi 90 % kebutuhan daging sapi bagi penduduknya dan selalu mengimpor sapi bakalan dan daging beku lebih dari 10 % dari total yang dibutuhkan.

Jika hanya mengandalkan ternak sapi lokal, maka diperlukan waktu minimal 30 tahun untuk berswasembada daging sapi. Itupun harus dikerjakan melalui program terobosan yang melibatkan berbagai instansi dan dilakukan secara tersistem, terstruktur, dan masif dengan pemeran utamanya adalah peternak berskala kecil yang skala kepemilikannya hanya 2 sampai dengan 3 ekor per peternak.

Namun demikian, seperti telah dianjurkan oleh banyak pakar, swasembada daging juga dapat dicapai dalam waktu pendek misalnya 3 tahun jika pemerintah mengimpor setidaknya dua sampai tiga juta ekor sapi indukan dari luar negeri ke Indonesia. Mengimpor sapi indukan dalam jumlah besar merupakan satu-satunya cara yang harus dilakukan pemerintah jika ingin cepat berswasembada daging. Jika memang ada anggaran untuk mengimpor sapi indukan dalam jumlah besar, maka dalam pengelolaannya harus melibatkan perguruan tinggi maupun lembaga riset (akademisi) dan perusahaan peternakan (pelaku usaha).

Pertama, pemerintah harus  menyediakan lahan luas yang dapat disewa penggunaannya oleh perusahaan peternakan untuk penggembalaan sapi indukan. Pemerintah membeli sapi indukannya dan menitipkan seluruh sapi indukan yang dibeli kepada perusahaan peternakan yang profesional dan berpengalaman. Jika perusahaan peternakan telah memiliki lahan penggembalaan, maka pemerintah berkewajiban membeli sapi indukan saja.              

Kedua, semua sapi indukan dikelola oleh perusahaan peternakan dan pedet yang dihasilkan ditumbuh-kembangkan oleh perusahaan tersebut. Perguruan tinggi dan lembaga riset diberi akses untuk menggunakan sapi indukan dan lahan perusahaan sebagai bahan penelitian. Untuk sapi jantan, semua digunakan untuk menghasilkan daging. Sebagian dana dari hasil penjualan sapi jantan digunakan untuk riset.             

Ketiga, untuk sapi betina yang dihasilkan, sebagian sapi dipinjamkan kepada peternak berskala kecil yang dipilih melalui seleksi ketat oleh tim independen. Sapi betina dipinjamkan ke peternak kecil harus dalam kondisi bunting. Dalam hal ini, peternak harus bermitra dengan pemodal individu melalui konsep kemitraan Mulya-52. Pola ini merupakan pola kemitraan antara peternak dan individu perorangan dengan pembagian tugas sebagai berikut: peternak hanya bertugas memelihara sapi indukan sedangkan pemitra menyediakan dana pengelolaan sapi. Hasil penjualan pedet yang dihasilkan oleh sapi indukan dibagi antara peternak dan pemitra secara proporsional, dimana porsi peternak harus lebih besar daripada porsi pemitra.              

Sapi betina juga dapat dijual ke masyarakat luas untuk dikembang-biakkan lebih lanjut yang sebagian dana hasil penjualan sapi betina disisihkan untuk disimpan sebagai dana tambahan beli sapi indukan lagi jika sapinya telah tak berproduksi lagi (apkir).



Semoga bermanfoattt...

Sumber : (trobos)

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds